New media pada era
globalisasi sekarang ini sangat berpengaruh sekali, baik di kalangan anak-anak
maupun dewasa. Banyak anak-anak di jaman sekarang ini menggunakan new media
tersebut untuk hiburannya mereka, salah satunya ialah dengan bermain game. Banyak
anak-anak yang pada akhirnya menjadi kecanduan bermain game dan merasa game
adalah dunianya. Game ini tentu menjadi dampak negatif bagi anak-anak yang
menjadikan game adalah dunianya. Namun, game ini juga memiliki dampak
positifnya untuk anak-anak. Penggunaan game ini juga bisa meningkatkan kekreatifan
pikirannya dan menghidupkan sel sel motorik pada otak dalam berpikir menghadapi
sesuatu.
Dampak positif
dengan anak bermain game yaitu menurut Seymour Papert (1993), berpendapat bahwa
dengan bermain game menghasilkan bentuk-bentuk pembelajaran baru, yang melampaui
batasan metode linear lama. Anak-anak yang terlihat paling responsif terhadap
pendekatan-pendekatan baru ini: game entah bagaimana melepaskan kreativitas
alami mereka dan keinginan untuk belajar, yang diblokir dan frustrasi oleh
metode-metode lama. Yang lain berpendapat bahwa game memberdayakan anak-anak
untuk berkomunikasi satu sama lain, untuk mengekspresikan diri dan
berpartisipasi dalam kehidupan publik dengan cara yang sebelumnya tidak
mungkin. Jon Katz (1996), misalnya, menganggap game sebagai sarana pembebasan
anak-anak: ia memberi anak-anak kesempatan untuk melarikan diri dari kendali
orang dewasa, dan untuk membuat budaya dan komunitas mereka sendiri. Demikian
juga, Don Tapscott (1997) bahwa game adalah menciptakan 'generasi elektronik'
yang lebih demokratis, lebih imajinatif, lebih bertanggung jawab secara sosial
dan informasi yang lebih baik daripada generasi sebelumnya. Teknologi digital,
menurutnya, pada akhirnya akan menghasilkan ' ledakan generasi ', ' kebangkitan
sosial' yang akan melontarkan hierarki pengetahuan dan kekuasaan tradisional.
Retorika generasi semacam ini juga tercermin kuat dalam iklan untuk komputer.
Anak- anak biasanya terlihat memiliki kebijaksanaan alami dalam hubungan mereka
dengan game yang ada di dalam teknologi komputer yang diwakili di sini sebagai
jendela ke dunia baru, cara mengembangkan rasa ingin tahu intuitif anak-anak
dan pertama untuk pengetahuan (Nixon, 1998).
Sedangkan dampak
negatif yang timbul akibat dari bermain game adalah game berfokus tidak begitu
banyak pada potensi pendidikan mereka, tetapi pada peran mereka sebagai sarana
hiburan dan itu tergantung pada membuat perbedaan mutlak antara keduanya. Dengan
demikian, media digital seperti game sering dilihat sebagai pengaruh buruk pada
perilaku anak-anak dan khususnya untuk menyebabkan kekerasan peniruan. Acara
seperti penembakan di Columbine High School di Colorado, AS pada tahun 1999
sering disalahkan pada permainan komputer yang kejam atau akses anak-anak ke
'situs kebencian' di World Wide Web. lebih 'realistis' efek grafis menjadi, ia
berpendapat, semakin mereka untuk mendorong 'copycat' perilaku (Provenzo,
1991). Media baru ini juga terlihat buruk bagi otak dan tubuh. Dengan demikian,
ada banyak studi klinis fenomena seperti 'Nintendo siku' cocok diduga
disebabkan oleh permainan komputer, hingga penelitian tentang kecanduan
komputer dan efek negatif pada imajinasi anak-anak dan prestasi akademik
(Grifiths. 1996). Sementara itu, media baru dituduh membuat anak-anak
antisosial, dan menghancurkan interaksi manusia normal dan kehidupan keluarga.
The phenomeon dari 'Otaku-zoku' atau 'suku yang tinggal di rumah' di Jepang
dipandang sebagai simbol dari cara di mana orang-orang muda arr datang untuk
memilih jarak dan anonimitas interaksi tatap muka virtual (Tobin, 1998). Media
ini juga terlihat memiliki efek moral dan ideologi negatif pada anak-anak.
Dengan demikian, permainan permainan dipandang sebagai aktivitas yang sangat
jender, yang memperkuat stereotip tradisional dan model peran negatif, dan
mendorong kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Sementara itu, ada semakin meningkatnya
kecemasan aksesibilitas porografi di Internet. Dan akhirnya, ada kekhawatiran
yang berkembang tentang praktik pemasaran online untuk anak-anak, baik melalui
penjualan langsung dan melalui pengumpulan data riset pasar (Schor, 2004). Selain
itu kecanduan bermain game pun menyebabkan anak tersebut malas belajar dan
cenderung memilih bermain game berhari-hari dibanding melakukan aktivitas – aktivitas
wajibnya seperti sekolah, makan, tidur, dan sebagainya.
Melihat dampak
negatif yang ditimbulkan dari bermain game tersebut, tentunya peran orangtua sangat
dibutuhkan dalam hal ini untuk menyaring/membatasi/mengawasi agar sang anak
tidak kecanduan bermain game. Caranya ialah dengan membatasi anak bermain game,
jangan membiasakan anak untuk bermain game secara terus-menerus, kenali anak
dengan permainan yang bisa meningkatkan sosialisasinya seperti bermain board
game secara konvensional, bermain petak umpet dan sebagainya, juga menyuruh
anak agar bermain dengan teman-teman di lingkungannya agar anak tersebut tidak
menjadi anti sosial, dan masih banyak lagi.
Karena game sangat
banyak diminati oleh anak-anak, maka timbul lah suatu konsep transmedia
intertekstualitas yang ada di dalam permainan budaya anak-anak kontemporer. Dalam
konteks ini budaya game dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk mencari
keuntungan. Dengan banyaknya pemain Game di Indonesia, pemilik modal dapat
melihat hal ini untuk mengeruk keuntungan dengan cara menjadikan tokoh game
diadaptasikan menjadi suatu film, pernak pernik, dan lainnya atau sebaliknya
yang dikuasai oleh para pemilik modal dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan
pasar.
Contoh
nyata sekarang ini ialah hadirnya game-game seperti pokemon, angry bird, Warcraft,
need for speed, dan lain-lain. Game-game tersebut merupakan adaptasi dari game
menjadi sebuah film atau sebaliknya. Untuk pokemon sendiri, merupakan sebuah
kartun lama dan pada akhirnya oleh pemilik modal dijadikan sebuah games dengan
nama Pokemon GO. Angry bird, Warcraft, need for speed merupakan sebuah game
yang dijadikan film oleh pekarya-pekarya film dan film tersebut sukses
dipasaran dan menambah popularitas dari game-game itu sendiri. semua game-game
tersebut pun dijadikan untuk memperoleh keuntungan dengan cara menjual
pernak-pernik yang bergambarkan game-game tersebut, bentuknya seperti gelas,
action figure, baju, celana, tas, tempat pensil, dan lain-lain. Merchandise-merchandise
tersebut juga menambah kesuksesan dari game dan film itu sendiri karena banyak
peminatnya.
Referensi:
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone.
2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs,
Sage Publication Ltd. London.
Chapter
3 : CHILDREN AND NEW MEDIA