30 Mar 2018

Stigma untuk Game, Benarkah?

Edit Posted by with No comments

New media pada era globalisasi sekarang ini sangat berpengaruh sekali, baik di kalangan anak-anak maupun dewasa. Banyak anak-anak di jaman sekarang ini menggunakan new media tersebut untuk hiburannya mereka, salah satunya ialah dengan bermain game. Banyak anak-anak yang pada akhirnya menjadi kecanduan bermain game dan merasa game adalah dunianya. Game ini tentu menjadi dampak negatif bagi anak-anak yang menjadikan game adalah dunianya. Namun, game ini juga memiliki dampak positifnya untuk anak-anak. Penggunaan game ini juga bisa meningkatkan kekreatifan pikirannya dan menghidupkan sel sel motorik pada otak dalam berpikir menghadapi sesuatu.


Dampak positif dengan anak bermain game yaitu menurut Seymour Papert (1993), berpendapat bahwa dengan bermain game menghasilkan bentuk-bentuk pembelajaran baru, yang melampaui batasan metode linear lama. Anak-anak yang terlihat paling responsif terhadap pendekatan-pendekatan baru ini: game entah bagaimana melepaskan kreativitas alami mereka dan keinginan untuk belajar, yang diblokir dan frustrasi oleh metode-metode lama. Yang lain berpendapat bahwa game memberdayakan anak-anak untuk berkomunikasi satu sama lain, untuk mengekspresikan diri dan berpartisipasi dalam kehidupan publik dengan cara yang sebelumnya tidak mungkin. Jon Katz (1996), misalnya, menganggap game sebagai sarana pembebasan anak-anak: ia memberi anak-anak kesempatan untuk melarikan diri dari kendali orang dewasa, dan untuk membuat budaya dan komunitas mereka sendiri. Demikian juga, Don Tapscott (1997) bahwa game adalah menciptakan 'generasi elektronik' yang lebih demokratis, lebih imajinatif, lebih bertanggung jawab secara sosial dan informasi yang lebih baik daripada generasi sebelumnya. Teknologi digital, menurutnya, pada akhirnya akan menghasilkan ' ledakan generasi ', ' kebangkitan sosial' yang akan melontarkan hierarki pengetahuan dan kekuasaan tradisional. Retorika generasi semacam ini juga tercermin kuat dalam iklan untuk komputer. Anak- anak biasanya terlihat memiliki kebijaksanaan alami dalam hubungan mereka dengan game yang ada di dalam teknologi komputer yang diwakili di sini sebagai jendela ke dunia baru, cara mengembangkan rasa ingin tahu intuitif anak-anak dan pertama untuk pengetahuan (Nixon, 1998).
Sedangkan dampak negatif yang timbul akibat dari bermain game adalah game berfokus tidak begitu banyak pada potensi pendidikan mereka, tetapi pada peran mereka sebagai sarana hiburan dan itu tergantung pada membuat perbedaan mutlak antara keduanya. Dengan demikian, media digital seperti game sering dilihat sebagai pengaruh buruk pada perilaku anak-anak dan khususnya untuk menyebabkan kekerasan peniruan. Acara seperti penembakan di Columbine High School di Colorado, AS pada tahun 1999 sering disalahkan pada permainan komputer yang kejam atau akses anak-anak ke 'situs kebencian' di World Wide Web. lebih 'realistis' efek grafis menjadi, ia berpendapat, semakin mereka untuk mendorong 'copycat' perilaku (Provenzo, 1991). Media baru ini juga terlihat buruk bagi otak dan tubuh. Dengan demikian, ada banyak studi klinis fenomena seperti 'Nintendo siku' cocok diduga disebabkan oleh permainan komputer, hingga penelitian tentang kecanduan komputer dan efek negatif pada imajinasi anak-anak dan prestasi akademik (Grifiths. 1996). Sementara itu, media baru dituduh membuat anak-anak antisosial, dan menghancurkan interaksi manusia normal dan kehidupan keluarga. The phenomeon dari 'Otaku-zoku' atau 'suku yang tinggal di rumah' di Jepang dipandang sebagai simbol dari cara di mana orang-orang muda arr datang untuk memilih jarak dan anonimitas interaksi tatap muka virtual (Tobin, 1998). Media ini juga terlihat memiliki efek moral dan ideologi negatif pada anak-anak. Dengan demikian, permainan permainan dipandang sebagai aktivitas yang sangat jender, yang memperkuat stereotip tradisional dan model peran negatif, dan mendorong kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Sementara itu, ada semakin meningkatnya kecemasan aksesibilitas porografi di Internet. Dan akhirnya, ada kekhawatiran yang berkembang tentang praktik pemasaran online untuk anak-anak, baik melalui penjualan langsung dan melalui pengumpulan data riset pasar (Schor, 2004). Selain itu kecanduan bermain game pun menyebabkan anak tersebut malas belajar dan cenderung memilih bermain game berhari-hari dibanding melakukan aktivitas – aktivitas wajibnya seperti sekolah, makan, tidur, dan sebagainya.
Melihat dampak negatif yang ditimbulkan dari bermain game tersebut, tentunya peran orangtua sangat dibutuhkan dalam hal ini untuk menyaring/membatasi/mengawasi agar sang anak tidak kecanduan bermain game. Caranya ialah dengan membatasi anak bermain game, jangan membiasakan anak untuk bermain game secara terus-menerus, kenali anak dengan permainan yang bisa meningkatkan sosialisasinya seperti bermain board game secara konvensional, bermain petak umpet dan sebagainya, juga menyuruh anak agar bermain dengan teman-teman di lingkungannya agar anak tersebut tidak menjadi anti sosial, dan masih banyak lagi.
Karena game sangat banyak diminati oleh anak-anak, maka timbul lah suatu konsep transmedia intertekstualitas yang ada di dalam permainan budaya anak-anak kontemporer. Dalam konteks ini budaya game dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk mencari keuntungan. Dengan banyaknya pemain Game di Indonesia, pemilik modal dapat melihat hal ini untuk mengeruk keuntungan dengan cara menjadikan tokoh game diadaptasikan menjadi suatu film, pernak pernik, dan lainnya atau sebaliknya yang dikuasai oleh para pemilik modal dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pasar.
Contoh nyata sekarang ini ialah hadirnya game-game seperti pokemon, angry bird, Warcraft, need for speed, dan lain-lain. Game-game tersebut merupakan adaptasi dari game menjadi sebuah film atau sebaliknya. Untuk pokemon sendiri, merupakan sebuah kartun lama dan pada akhirnya oleh pemilik modal dijadikan sebuah games dengan nama Pokemon GO. Angry bird, Warcraft, need for speed merupakan sebuah game yang dijadikan film oleh pekarya-pekarya film dan film tersebut sukses dipasaran dan menambah popularitas dari game-game itu sendiri. semua game-game tersebut pun dijadikan untuk memperoleh keuntungan dengan cara menjual pernak-pernik yang bergambarkan game-game tersebut, bentuknya seperti gelas, action figure, baju, celana, tas, tempat pensil, dan lain-lain. Merchandise-merchandise tersebut juga menambah kesuksesan dari game dan film itu sendiri karena banyak peminatnya.

Referensi:

Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London.
Chapter 3 : CHILDREN AND NEW MEDIA

0 komentar:

Posting Komentar